Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 83

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 83

“Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.”

“Mudah-mudahan,” ujar Sunan Bonang.

“Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.”

“Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”

“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.”

“Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?”

“Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya.

“Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah.

“Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang dugaan…”

***

Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.

Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar.

Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap.

“Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang.

“Kematian…”

“Maksud, Syekh?”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 82

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 82

***

“Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah.

Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam bhatinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar.

“Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah.

“Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….”

“Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…”

“Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang.

“Itu bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…”

“Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.”

“Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…”

“Ya, padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang berbau mistis.”

“Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”

“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?”

“Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…”

“Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’

‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian. Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang.

“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?”

“Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.”

“Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala.

“Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah.

“Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 81

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 81

“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?”

“Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia
dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.”

“Maksudnya?”

“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….”

“Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala.

“Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”

“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata bhatin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”

“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo.

“Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.”

“O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…”

“Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.”

“Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…”

“Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo.

“Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah tekubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….”

Tiba-tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan kesaksian dari langit.

“Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga.

Bersambung………..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 80

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 80

“Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!”

“Bukankah saya sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang sebuah perintah terkait syariat…”

“Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam ini agama yang berdasarkan dalil dalam alquran, bukan berdasarkan pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”

“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah selesai…”

“Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika tidak bisa menghindar dari hukum…”

“Hukum?”

“Ya, hukum negara Demak Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan manunggaling kawula gusti.”

“Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti, Kanjeng?”

“Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah SWT….”

“O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…”

“Apa?”

“Kanjeng, tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya. Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya berdiri. “Menghilanglah kalian….”

“E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang, “Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?”

“Tangkap dan bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi berhamburan.

“Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak, “E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala, dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup angin.”

“Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan Kudus?”

“Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan tubuh.

“Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.

“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di sini.”

“Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran Bayat.

“Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.”

“Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya.

Sunan Kudus, Pangeran Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka.

“Mereka kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak kemana-mana…”

“Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 79

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 79

“Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?”

“Syariat Islam?”

“Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…”

“Tidak,”

“Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?”

“Tentu saja.”

“Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!”

“Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?”

“Dimana ukuran sesatnya?”

“Ya, itu tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan!”

“Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, tidakah salah?”

“Justru andika telah salah dan sesat, Syekh!”

“Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan, apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan Allah dalam alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?”

“Andika ini melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?”

“Saya tidak sedang melantur, Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya sebagai manusia biasa tidakbisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika demikian artinya telah melebihi Allah….”

“Bagamaina andika ini, Syekh? Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata, memutar-mutar kalimat!”

“Bukakankah manusia dalam kehidupannya hanya memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi. Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat dan menyesatkan umat….”

“Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran Bayat mengerutkan keningnya.

“Islam itu agama syariat!” ujar Sunan Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.”

“Tidak bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 78

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 78

“Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala.

“Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Ya, Syekh.”

“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?”

“Hari inilah saya datang ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.”

“Bahwa saya telah mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap Sunan Kudus.

“Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya….”

“Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum, “Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya saya telah murtad, kafir, mungkin juga musrik. Tetapi benarkah tuduhan itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap benar dan harus disebarluaskan?”

“Memang itu tidak salah! Sudah seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.”

“Mengapa saya dianggap melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika? Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?”

“Tidak,”

“Lantas?”

“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.”

“Andika dari tadi menuduh saya telah menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang saya sebarkan?”
Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 77

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 77

“Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudahmempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya.

“Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris.

“Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram.

“Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya.

“Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat.

“Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam.

Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa.

Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum.

Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam.

“Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus.

“Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.”

“Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan. Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….”

“Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…”

“Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.

“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat.

“Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?”

“Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah.

“Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar.

Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak.

“Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?”

“Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
Bersambung……..