Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 24

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 24

Oleh Herdi Pamungkas

“Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tetang sebuah istilah, yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”

“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami tentu saja punya nama yang berbeda.”

“Benar,” timpal Syekh Siti Jenar. “Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda. Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.”

“Ya.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.

***

“Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan patatnya di atas kursi rotan.

“Saya juga sama, Ki.” timpal Lego Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?”

“Menurut kalian?” Kebo Benowo balik bertanya.

“Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja-raja yang ada di tanah jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.

“Siapa turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum. “Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?”

“Maksud saya, tidak lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol.

“Jadikan prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak yang sah?” tatap Kebo Benowo.

“Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya.

“Andika ini tidakah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo terkekeh.

“Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.” urainya.

“Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya.

“Kenapa aki selalu berbicara seperti itu. Tidakah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi.

“Bukan demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi, tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak, Raden Patah. Selain itu mereka memiliki para wali yang selalu mendapingi dan memakmurkan masjid demak. Mereka semua memiliki ilmu yang cukup tinggi, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” urainya.

“Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.”

“Andika jangan berpikir seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiryah. Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.” terangnya.

“Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya. “Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan menikmati kesenangan dunia?”

Bersambung………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar