Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 69

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 69

“Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…”

“Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan mengarahkan.”

“Benar, supaya tidak kesasar dan gila?”

“Ya, mungkin kata lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?”

“Saya kira tidak,”

“Mengapa?”

“Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan alon-alon.”

“Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski sebenarnya punya tujuan sama.”

“Maksudnya?”

“Bukan tidak tahu jalan umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?”

“Sampai?”

“Mengapa harus bertengkar dan saling menyalahkan?”

“Karena jalannya tidak diketahui umum,”

“Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?”

“Tidak,”

“Mengapa?”

“Karena pasti sampai.”

“Kenapa pula dipertengkarkan?”

“Bertengkar karena tidak saling memahami akan persoalan yang sesungguhnya.”

Bersambung……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar