Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 72

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 72

“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.”

***

“Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.”

“Persoalan apa, Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?”

“Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.”

“Maksud, Kanjeng?”

“Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat.

“Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat demikian.”

“Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.”

“Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.”

“Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.”

“Benar, Kanjeng.”

“Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.”

“Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.”

“Tidakah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…”

“Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.”

“Dimas Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?”

“Bukankah dugaan saya telah terjadi, Gusti?”

“Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri, “Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran sesat ini semakin meluas….”

“Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala, pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup.

“Haruskah saya seret Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran Bayat.

“Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga, “Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?”

Bersambung………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar