Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 14

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 14

Oleh Herdi Pamungkas

“Bukankah tujuan dari dzikir, shalat, dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?” timpal Kebo Kenongo.

“Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?”

“Tentu saja jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar dari wajah Syekh Siti Jenar.

“Upaya pendekatan apalagi yang harus kita lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!” tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya. Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.”

“Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar.

“Untuk meyakinkan segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.” saran Syekh Siti Jenar.

“Saya sering melakukan semedi dan tapabrata, Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo.

“Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari sebelumnya. Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti dibahas.”

Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.

***

“Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan Kalijaga.

“Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini.

“Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela.

”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya ini.” terang Sunan Bonang.

“Tidak lupa pula para wali yang lain.”

”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau jawa dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya.

’Bukankah maksud kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi tentang isi ajaran yang disampaikannya.’

‘Itulah yang membuat saya khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu tidak..’

“Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

“Ada apa?”

”Tidak, Kanjeng Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang.

“Tetap saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak akan seluas para wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya sekelompok kecil saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak Bintoro.” ujar Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia tidak menyimpang dari aturan para wali.”

‘Apa boleh buat, justru itulah nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang.

Bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar