Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 40
April 17, 2008 oleh herdipamungkasred
“Sudahlah! Andika tidak perlu bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula. Jika ingin berhenti silahkan!”
“Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.”
“Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?”
“Terjawab?” Joyo Dento semakin mengkerutkan dahinya.
“Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih.
“Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya.
Joyo Dento sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga akhirnya habis dan kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya.
Sejalan dengan itu benaknnya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan-akan sudah tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki kemapuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir. Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak Bintoro sebentar lagi akan kacau dan goncang….”
Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda, lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih.
***
“Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini ada persidangan.” ujar Sunan Giri.
“Haruskah kita melaporkan hal ini pada Sinuhun agar langsung mengirim prajurit ke Kademangan Bintoro untuk menangkap mereka.” timpal Sunan Muria.
“Menurut hemat saya, sebaiknya kita selidiki dulu.” Sunan Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu tatap dengan Sunan Bonang. ‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan menyulitkan Syekh Siti Jenar. Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk hal ini.’ batinnya.
‘Benar, Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan Sunan Kalijaga, seraya bercakap dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah taqdir Syekh Siti Jenar. Namun bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’
“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri.
“Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, alangkah lebih baiknya sebelum bertindak dan melakukan penangkapan diadakan penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang.
“Saya setuju, Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para wali yang sedang bersidang.
“Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya ke arah Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga Ki Demang memaklumi.”
“Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil. Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam, mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu batasannya.”
Bersambung…………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar