Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 41

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 41

“Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini, menyertai Ki Demang?”

Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam.

Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal, seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu? Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa?

“Adakah yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan.

“Saya kira para ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?”

“Jangan dulu, Kanjeng!” potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir disini tidak ada yang sanggup?”

“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini. Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan penyelidikan ini. Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu masjid Demak Bintoro.

‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga.

‘Ya, itulah sebuah kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’ balas batin Sunan Kalijaga.

‘Bukankah Syekh Siti jenar juga….’

‘Ya, saya sangat paham akan dia…’

“Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan.

***

“Ki Benowo,” Joyo Dento duduk di atas kursi yang berada di samping Loro Gempol, tatapan matanya menyapu wajah Kebo Benowo. “Seperti yang saya duga, ternyata benar.”

“Heran?” Kebo Benowo memijit keningnya. “Mengapa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging tidak tertarik pada kekuasaan. Padahal kalau seandainnya kita berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden Patah, sudah barang tentu mereka berdua akan mendapat kedudukan yang pantas. Disamping dukungan mereka yang sangat kita butuhkan dalam lingkaran perjuangan ini.”

“Jangankan andika, Ki Benowo. Saya sendiri sangat kaget akan prilaku junjungan saya sendiri Ki Ageng Pengging.” ujar Joyo Dento. “Dia seakan-akan tidak peduli lagi pada tanah leluhurnya yang telah dikuasai Raden Patah, meski hampir ada keterkaitan darah. Namun Ki Ageng sendiri punya wewenang untuk menjadi penguasa, mengapa beliau rela berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah, yang seharusnnya kebalikannya.”

“Mungkinkah Junjunganmu itu terpengaruh oleh ilmu Syekh Siti Jenar, sehingga dia tunduk dan setia sebagai pengikutnya?” timpal Loro Gempol.

Bersambung……………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar