Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 90

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 90

“Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?”
“Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.”
“Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?”
“Bicara apa?”
“Masa kisanak tidak dengar?”

“Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!”
“Apa artinya hukum manusia?”
“Tidak takutkah andika, Syekh?”

“Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba. Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.”
Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman.
“Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak.

“Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!”
“Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan.

Bersambung……

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 89

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 89

“Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini yang bersemayam di benak andika, Dento?”
“Doktrin!”
“Maksudnya?” dahi Kebo Benowo mengkerut.
“Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…”
“Ajaran hidup untuk mati itukah?”
“Itulah!”
“Bukankah mereka sudah menganggap mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki niat bergabung dengan kita?”
“Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir, bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah masyarakat miskin dan bodoh?”
“Benar,”
“Mudah.”


***

“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin.

“Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang.

“Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara 
berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.”

“Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?”

“Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?”

“Benar juga?”

“Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!”

“Andika menantang!” geram Pangeran Modang.

Bersabung…………….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 88

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 88

***

Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring.

Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh.

Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang.

Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihada pannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak panah.

“Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo.

“Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut.

“Maksud andika?”

“Kita perlu pasukan berkuda.”

“Kenapa tidak?”

“Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.”

“Bukankah itu soal mudah, Dento?”

“Maksud aki?”

“Taklukan lagi para rampok dan paksa orang-orang kampung, teruta
ma para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…”

“Saya kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.”

“Takutkah andika, Dento?”

“Sama sekali tidak, Ki.”

“Lantas?”

“Tidakkah aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,”
“Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?”

“Tidak,”
Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 87

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 87

“Baiklah,” Sunan Kudus menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.”

“Hehhhhmmmm…” Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh, lahirkanlah pembicaraan andika berdua!”

Keduanya masih belum melahirkan setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup angin pegunungan.

“Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya tertuju pada Sunan Kalijaga.

“Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu? Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’

“Mengapa mereka masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan.

“Baiklah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap pemikiran saya?”

“Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak, “…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam.

“Andika berkata demikian, Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”

“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami. Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan dan menyudutkan semisal saya dan para murid.”

“Apa yang andika bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”

“Perlukah saya bicara panjang lebar dengan andika, Pangeran?”

“Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya, kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar terlepas dari hal yang dituduhkan.”

“Baiklah, saya terima tantangan itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju. Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!”

“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.

“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Bayat.

Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 86

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 86

“Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus meletakan jari telunjuk dibibirnya.

“Saya akan berujar secara lahiryah…” tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri Demak Bintoro.”

“Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.”

“Ya, saya kira demikian.”

“Baiklah,”

“Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?”

“Mengapa tuduhan seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut? Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.”

“Tentu saja, sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya. Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu, namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang mengajarkannya.”

“Sperti itukah lelaku saya saat ini?”

“Ya, dari sudut pandang umum.”

“Tidakah disadari meski gendang pun bisa dipukul menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”

“Benar,”

“Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”

“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”

“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.”

“Mungkin menurut pandangan khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.

“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam Pangeran Modang.

‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta manunggaling kawula gusti.’

‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk melukar syariat….’

“Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?” Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang.

“Mereka berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau kebatinan.”

“Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.

“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. ‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada tangga yang lebih atas…’

“Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala, “Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…”

“Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat.

Bersambung………..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 85

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 85

Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja yang hendak menemui penghuninya.

“Kanjeng, itulah tangga susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat.

“Sangat banyak anak tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya.

“Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema.

“Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…”

“Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…”

“Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum.

“Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.”

“Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga.

“Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang.

“Tentu saja di padepokannya, Pangeran.”

“Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu sihirnya?”

“Tidak,”

“Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…”

Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan-akan tidak memiliki bobot.

“Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti Jenar.

“Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….”

“Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng juga punya ilmu sihir?”

“Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”

“O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas berolah raga…apalagi memanjat gunung…”

Matahari semakin nampak, panasnya terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat dan keringat panas.

“Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro. Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.

“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika tidak akan bisa lolos…”
Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 84

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 84

“Lihat saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan datang.

Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh pertanyaan.

Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi-jadi.

Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng.

“Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.”

“Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat.

“Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan.

“Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan kita?”

“Tidak, Pangeran.”

“Tapi…bukankah…”

“Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang dimilikinya?”

“Ya, namun saya kurang paham?”

“Inilah bukti kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…”

“Maksudnya?” Pangeran Modang ikut bertanya, keningnya berkerut-kerut.

“Jika kaki Pangeran terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?”

“Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?”

“Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat.

“Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk-garuk kepala.

“Kita telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba-tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan guntur.

“Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!”

Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari.
Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 83

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 83

“Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.”

“Mudah-mudahan,” ujar Sunan Bonang.

“Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.”

“Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”

“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.”

“Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?”

“Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya.

“Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah.

“Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang dugaan…”

***

Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.

Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar.

Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap.

“Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang.

“Kematian…”

“Maksud, Syekh?”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 82

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 82

***

“Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah.

Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam bhatinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar.

“Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah.

“Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….”

“Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…”

“Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang.

“Itu bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…”

“Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.”

“Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…”

“Ya, padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang berbau mistis.”

“Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”

“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?”

“Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…”

“Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’

‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian. Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang.

“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?”

“Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.”

“Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala.

“Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah.

“Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 81

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 81

“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?”

“Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia
dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.”

“Maksudnya?”

“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….”

“Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala.

“Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”

“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata bhatin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”

“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo.

“Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.”

“O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…”

“Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.”

“Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…”

“Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo.

“Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah tekubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….”

Tiba-tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan kesaksian dari langit.

“Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga.

Bersambung………..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 80

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 80

“Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!”

“Bukankah saya sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang sebuah perintah terkait syariat…”

“Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam ini agama yang berdasarkan dalil dalam alquran, bukan berdasarkan pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”

“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah selesai…”

“Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika tidak bisa menghindar dari hukum…”

“Hukum?”

“Ya, hukum negara Demak Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan manunggaling kawula gusti.”

“Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti, Kanjeng?”

“Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah SWT….”

“O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…”

“Apa?”

“Kanjeng, tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya. Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya berdiri. “Menghilanglah kalian….”

“E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang, “Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?”

“Tangkap dan bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi berhamburan.

“Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak, “E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala, dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup angin.”

“Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan Kudus?”

“Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan tubuh.

“Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.

“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di sini.”

“Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran Bayat.

“Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.”

“Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya.

Sunan Kudus, Pangeran Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka.

“Mereka kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak kemana-mana…”

“Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 79

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 79

“Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?”

“Syariat Islam?”

“Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…”

“Tidak,”

“Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?”

“Tentu saja.”

“Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!”

“Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?”

“Dimana ukuran sesatnya?”

“Ya, itu tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan!”

“Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, tidakah salah?”

“Justru andika telah salah dan sesat, Syekh!”

“Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan, apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan Allah dalam alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?”

“Andika ini melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?”

“Saya tidak sedang melantur, Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya sebagai manusia biasa tidakbisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika demikian artinya telah melebihi Allah….”

“Bagamaina andika ini, Syekh? Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata, memutar-mutar kalimat!”

“Bukakankah manusia dalam kehidupannya hanya memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi. Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat dan menyesatkan umat….”

“Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran Bayat mengerutkan keningnya.

“Islam itu agama syariat!” ujar Sunan Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.”

“Tidak bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 78

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 78

“Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala.

“Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Ya, Syekh.”

“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?”

“Hari inilah saya datang ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.”

“Bahwa saya telah mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap Sunan Kudus.

“Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya….”

“Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum, “Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya saya telah murtad, kafir, mungkin juga musrik. Tetapi benarkah tuduhan itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap benar dan harus disebarluaskan?”

“Memang itu tidak salah! Sudah seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.”

“Mengapa saya dianggap melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika? Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?”

“Tidak,”

“Lantas?”

“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.”

“Andika dari tadi menuduh saya telah menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang saya sebarkan?”
Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 77

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 77

“Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudahmempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya.

“Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris.

“Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram.

“Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya.

“Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat.

“Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam.

Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa.

Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum.

Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam.

“Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus.

“Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.”

“Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan. Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….”

“Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…”

“Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.

“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat.

“Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?”

“Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah.

“Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar.

Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak.

“Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?”

“Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 76

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 76

“Tahukah andika siapa yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar.

“Belum terlihat, sama sekali tidak tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah jalan yang akan dilewati tamu.

“Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi menajamkan penglihatan…”

“Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo, begitu juga yang lainnya.

“Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.”

“Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi.

Belum juga Ki Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demaka Bintoro telah terlihat menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan Muria dan yang lainnya.

“Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan melelahkan?”

“Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.”

“Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan yang berikutnya….”

“Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram, lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!”


Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 75

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 75

“Bersandarlah kita pada ke Maha Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar hal itu bisa terjadi.”

“Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”

“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang menyebutnya Kharamah?”

“Mengapa bisa muncul Kharamah?”

“Ya, karena kita telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.”

“Jika tidak sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?”

“Tentu, asalkan hati kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar, tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar.

“Maksudnya?” tanya Ki Donoboyo.

“Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika islam itu hanya tinggal namanya, alquran tinggal tulisannya……..”

“Keberkahannya yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang. Kadangkala alquran dan agama hanya dijadikan alat…”

“Ya, dijadikan alat untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para penguasa negeri Demak Bintoro…”

“Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.”

“O…” Ki Donoboyo mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan agama yang saya anut.”

“Menurunkan penilaian jelek pada orang lain, karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca, memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut banyak orang.”

“Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya, “Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?”

“Benar, sehingga hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya dibelakang, jadi bahan obrolan.”

“Itulah para pejabat negeri Demak Bintoro….”

“Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai ma’rifat?”

“Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan benci akan penyimpangan, terutama dari…..”

“Sudahlah, bukankah tadi saya telah mengurainya?”
“Jika andika berupaya, insya allah akan sampai pada tujuan.” terang Syekh Siti Jenar.

“Sampurasun…” terdengar suara dari kaki bukit, menggema.

“Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo.

Bersambung…….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 74

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 74

“Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….”

“Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?”

“Bukankah beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?”

“Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?”

“Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.”

“Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?”

“Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.”

“Mengapa, Syekh?”

“Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….”

“….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…”

“Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya.

“Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.”

“Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya.

“Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?”

“Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.”

“Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?”

“Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?”

“Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas menjinakan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?”

“Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki Chantulo.

“Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan mukjijat.”

“Tentu saja,”


Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 73

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 73

“Untuk apa, Kanjeng?” tanya Sunan Giri.

“Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.” jawab Sunan Kalijaga.

“Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”

“Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.” Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng. Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup menilai sesat atau tidaknya ajaran syekh Siti Jenar.”

“Baiklah, Raden. Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”

“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?” tanya Pangeran Bayat.

“Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah Sunan Giri.

“Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.

“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya.

“Hamba kira hukuman mati sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat.

“Hukuman apa pun layak diberikan pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta pembuktian.”

“Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke Desa Khendarsawa.

***

Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat.

“Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas.

“Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo.

“Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Tidak,”

“Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…”


Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 72

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 72

“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.”

***

“Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.”

“Persoalan apa, Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?”

“Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.”

“Maksud, Kanjeng?”

“Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat.

“Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat demikian.”

“Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.”

“Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.”

“Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.”

“Benar, Kanjeng.”

“Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.”

“Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.”

“Tidakah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…”

“Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.”

“Dimas Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?”

“Bukankah dugaan saya telah terjadi, Gusti?”

“Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri, “Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran sesat ini semakin meluas….”

“Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala, pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup.

“Haruskah saya seret Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran Bayat.

“Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga, “Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 71

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 71

“Tidak perlu khawatir, Ki Angeng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah, daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi itu.” sejenak menghentikan perbincangannya.

Senja hening di padepokan Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh Siti Jenar, berkelebat.

“Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh Sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang disampaikannya berlaku pada kita…..”

“Jika ya? Meskikah kita mengambil tindakan?” tatap Ki Chantulo.

“Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?”

“Begitukah, Syekh?” Ki Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya.

“Saya tidak mengaharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.”

“Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.

“Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang? Sebatasmana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat, bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.” urai Syekh Siti Jenar.

“Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki Donoboyo memijit-mijit keningnya.

***

“Saya menyadari akan keteledoran dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga timbul penyesalan yang teramat dalam….”

“Tidak cukup dengan sebuah kata dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat, meminta maaf pun harus pada mereka…”

“Bukankah rakyat negri Demak Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?”

“Meminta maaf pada rakyat tidak cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.” Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah. Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara. Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.”

“Saya sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk, “Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?”

“Mana mungkin bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat, berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.”

Bersambung……….

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 69

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 69

“Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…”

“Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan mengarahkan.”

“Benar, supaya tidak kesasar dan gila?”

“Ya, mungkin kata lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?”

“Saya kira tidak,”

“Mengapa?”

“Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan alon-alon.”

“Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski sebenarnya punya tujuan sama.”

“Maksudnya?”

“Bukan tidak tahu jalan umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?”

“Sampai?”

“Mengapa harus bertengkar dan saling menyalahkan?”

“Karena jalannya tidak diketahui umum,”

“Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?”

“Tidak,”

“Mengapa?”

“Karena pasti sampai.”

“Kenapa pula dipertengkarkan?”

“Bertengkar karena tidak saling memahami akan persoalan yang sesungguhnya.”

Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 68

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 68

Suasana istana yang hening terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya Raden Patah marah.

Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski hanya sepatah kata penghibur.

“Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah berdosa dan menyia-nyiakan amanah…”

***

Matahari mulai menyelinap di balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis-lapis laksana serpihan sutra merah. Angin senja bertiup sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan ranting kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya.

Sorot mata Ki Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya.

“Ranting dan daun kering, rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu diiringi warna keemasan….”

“Ya, sangat indah kematian daun dan ranting kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?”

“Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi.

Di halaman padepokan Syekh Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo seakan-akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya.

“Syekh, manunggaling sifat Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai. Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu pernah Syekh ungkapkan.”

“Bukankah saya pernah mengatakan, menuju ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama-nama proses pencapainya.”

Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 67

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 67

“Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro, mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat. Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi di negeri ini….”

“Yakinkah, Raden?”

“Saya percaya pada Dimas Bayat, Kanjeng Sunan.”

“Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat.

“Baguslah jika yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?”

“Tentu saja, Kanjeng.” Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?”

“Benar,” Sunan Giri menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.”

“Mereka bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.”

“Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang ajaran Syekh Siti Jenar!”

“Kenapa, Kanjeng?”

“Lihat dan perhatikan, jika yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…”

“Mengapa harus dipisahkan persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang menyesatkan ini.”

“Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin dan kelaparan?”

“Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air mata, semakin lama semakin banyak.

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 66

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 66

“Terimakasih atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para wali lain menempati kursi yang telah disediakan.

“Rasanya sangat bahagia hati ini, batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali yang terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.”

“Tidaklah harus terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan kita untuk bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?”

“Alhamdulillah, Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan ajaran Islam. Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..”

“Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh. Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.”

“Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?”

“Andai lapar itu berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri.

“Ya, saya paham, Kanjeng.” Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran Bayat.

“Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?”

“Benarkah, Dimas?”

“Hamba yakin, Gusti.”

“Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah menundukan kepala dihadapan Sunan Giri.

“Seandainya masih ada rakyat yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan Giri.

Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 65

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 65

“Bagus,” ujar Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan Bintoro?”

“Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa lelah sepulang dari padepokan?”

“Tidak!”

“Gempol, bukannya saya tidak percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan Bintoro?”

“Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang, “Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik perang gelap…”

“Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam.

“Harus menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang Joyo Dento.

“Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo, “Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?”

“Bisa saja, menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan penyerangan….”

“Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala.

***

Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di tangannya.

Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi kerajaan lainnya berdiri, menyalami.

Hari itu tampaknya ada pertemuan penting antara Raden Patah dan Walisongo.

“Selamat datang di keraton, Kanjeng Sunan.” Raden Patah menyalami dan memeluk Sunan Giri, lalu yang lainnya. “Silahkan…”

Bersambung………..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 64

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 64

Tidak lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya.

“Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….”

“Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.”

“Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?”

“Tentu saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu.

“Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo.

“Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu.

Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping. Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo.

“Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya.

“Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum.

“Sayang, Ki Gempol?”

“Kenapa, Dento?”

“Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak serta.”

“Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol.

“Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam.

“Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.”

“Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….”

Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 63

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 63

“Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski tidak mengerti. Hatinya seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…”

“Apa yang telah terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan. “Kanjeng Sunan Giri?”

“Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.” bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?”

“Tidak ada hal yang perlu dikhawtirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang, “Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng. Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.”

“Baiklah jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari duduknya.

“Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan merupakan wewenang para wali dan pemerintah.”

“Baiklah, Ki Demang.” Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta-lunta hingga mengakibatkan kesesatan bagi umat.”

***

Matahari mulai merayap, perlahan meredup seakan-akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan beristirahat di peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam.

Namun penghuni jagat raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi memelototi dan menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi mereka bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap, dari benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan keinginannya untuk berbuat.

Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus dan strategi perang.

Bersambung……..

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 62

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 62

“Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat. “Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita taati.”

“Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya mulai bersentuhan dan bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa melawan kehendak Allah.’

‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar kemerah-merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan Kalijaga.

“Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada pancaran sinar dari…”

“Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang perlu dikejutkan.

“Tidakah Kanjeng me…”

“Benar, Kanjeng Sunan Drajat.” tatap Sunan Bonang. Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya.

Bersambung………………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 61

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 61

“Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan, jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib, puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup. Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.”

“Tidakah kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga beradu tatap.

“Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak Bintoro akan terancam.”

“Tidakah kita ingin memastikan sekali lagi tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?” tatap Sunan Kalijaga.

“Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?”

“Apakah Ki Sakawarki sudah secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu sesat?”

“Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya, ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.”

“Bisakah itu dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah Pangeran Bayat dan Sunan Giri.

“Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia masih keturunan Majapahit dan memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak seberuntung junjungan kita.”

“Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan dulu masyalah politik dan agama?”

“Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat. “Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan orang terfokus pada persoalan agama, padahal politis.”

“Makanya saya tadi berpendapat, untuk menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita pisahkan dulu…”

“Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri. “Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan. Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu ditangkap, kita tangkap!”

Bersambung………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 60

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 60

“Itulah yang terjadi di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan kepalanya pada batu hingga tewas.”

“Itulah yang mereka anggap jihad!” ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha menyimpulkan.

“Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala.

“Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam yang sesungguhnya. Selain telah berani-berani mencampurbaurkan kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik dan kekuasaan.”

“Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali.

Bersambung…………………

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 59

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 59

“Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan yang saya hormati, ajaran itu benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan
jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.”

“Saya semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah percaya.”

“Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah?” tanya Sunan Giri.

“Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu, begitu pula kewajiban lainnya.”

“Menyimpang dan sesat secara aqidah!” Sunan Giri geram.

“Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat.

“Itulah yang kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan penyerangan terhadap Kademangan.”

“Keparat!” muka Pangeran Bayat merah padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya kepentingan?”

“Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?” tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama pimpinan pemberontak Kebo Ben….”

“Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari Ki Ageng Pengging….”

“Disini telah berbaur antara aqidah islam dan politik…..”

“Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat, “Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Sebab jika dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.”

‘Padahal maksud saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya.

‘Saya kira tidak perlu mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang. ‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan-akan kitalah yang memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’

‘Betapa sombong dan angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’

“Politik macam apa yang terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro.

“Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat.

Bersambung……

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 58

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 58

“Bertahap?” gumam Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang tanpa melalui tahapan?”

“Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.”

“Hhhhhmmmmmm….” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula Gusti menurut Syekh?”

“Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.”

“Maksudnya?”

“Manunggaling sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?”

“Tentu saja gula manis, dan garam asin.”

“Berikan pula gula dan garam ini pada seratus orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Angeng Pengging.”

“Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski dikasihkan pada seribu orang.”

“Itulah yang dikatakan manunggaling sifat.”

“O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya.

***

“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan.

“Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?”

“Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri.

Bersambung…………