Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 32
Maret 17, 2008 oleh herdipamungkasred
Oleh Herdi Pamungkas
“Meski saya telah berkali-kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?”
“Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya.
“Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo.
“Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.”
“Semua orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi.
“Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?”
“Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento.
“Negeri Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo Benowo.
“Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar.
“Maksud saya, untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan sebaliknya.”
“Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan kita harus mendapat simpati dari rakyat.”
“Benar, maksud saya itu.” ujar joyo Dento.
“Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol.
“Tentu, jika kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.”
Mendengar uraian Joyo Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo, Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan itu terkagum-kagum.
“Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat saya dan yang lainnya.”
Bersambung……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar