Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 44

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 44

“Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum.

“Hamamayu hayuning bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal selangkah.”

“Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau belum, Syekh?”

“Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning bawana.”

“Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya, “…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin, tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan kehancuran.”

“Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono, kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya kontroversi.” tambah Ki Chantulo.

“Andika tidak harus membicarakan orang lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….”

“Maksud, Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.

Bersambung………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar