Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 81
Oktober 7, 2008 oleh herdipamungkasred
“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?”
“Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia
dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.”
“Maksudnya?”
“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….”
“Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala.
“Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”
“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata bhatin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”
“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo.
“Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.”
“O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…”
“Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.”
“Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…”
“Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo.
“Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah tekubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….”
Tiba-tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan kesaksian dari langit.
“Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga.
Bersambung………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar