Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 38

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 38

“Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai permintaan Sunan Giri.

***

‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi Majapahit berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar.

‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang-orang sakti dan cerdas. Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda. Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka.

Joyo Dento meluruskan pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga.

‘Banyak juga jumlah anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih.

“Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.”

Joyo Dento menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!”

“Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan wujudnnya entah dimana.

“Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo Dento memutar pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?” gumamnnya.

“Benar,”

“Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?”

“Bukalah mata hati andika, Dento!”

“Ki Agengkah itu?” Joyo Dento membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat hamparan tikar.

“Benar, ini saya.”

“Namun Ki Ageng tidak saya temukan, begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan saya.” Joyo Dento memijit-mijit dahinya.

“Tataplah dengan mata terbuka, jangan dengan mata tertutup.”

“Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?” Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada dua hamparan tikar yang berada dihadapannya.

Bersambung…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar