Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 16

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 16

Oleh Herdi Pamungkas

“Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang tombak.

“Maksud andika?”

“Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung. Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan.

“Cerdas juga andika, Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang menerima. Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya kadang-kadang melantur.”

“Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si Tambun.

“Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?” tambahnya.

“Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.”

“Mengkhayal,” si Kerempeng mencibir.

***

“Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.” Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri.

“Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?”

“Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” terang Kebo Kenongo.

“Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.

“Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.

“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir.

“Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian.

“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek.

“Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?”

“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat.

“Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya.

“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.

“Lantas?”

“Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar.

“Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut.

“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikannya.” tambahnya.

“Baiklah, Syekh.”

Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.

Bersambung………………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar