Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 39

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 39

“Bukankah saya ada dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang sedang duduk bersila mulai tampak.

“Ki Ageng, terimalah sembah hormat hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang wali yang memiliki kesaktian tinggi. Ijinkanlah hamba pada saat ini menghadap!”

“Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum.
“Terimakasih, Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena hamba punya maksud dan tujuan….”

“Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar.

“Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan kawan-kawannya sakti.” JoyoDento semakin merunduk dan tercengang, atas kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun tidakah Syekh….”

“Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta bermimipi ingin menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan-akan sudah mengetahuisetiap rencana, bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa diketahuinya. Lebih dari itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki Ageng Pengging adalah bagian dari taqdir andika semua.”

“Lantas?” Joyo Dento bergumam, sudah kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya minta restu.”

“Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini. Karena ini adalah perjalanan lahiryah andika selaku manusia.” Syekh Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir. Ki Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan terjadi dan teralami berikutnya.”

“Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang akan terjadi pada saya dan lainnya?”

“Tidak hanya andika yang terbunuh. Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang.

“Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk-garuk kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak bisakah menghentikan taqdir itu?”

Bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar