Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 42

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 42

“Janganlah andika berkata demikian, Gempol!” tatap Kebo Benowo. “Bukankah Syekh Siti Jenar juga guru kita dan telah mengajarkan ilmu yang kita pinta, sehingga memiliki kesaktian tak terbatas.”

“Namun menurut hemat saya, mereka itu telah benar-benar mempelajari ilmu yang di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo Dento.

“Bukankah kita juga mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol, “Tapi kita tidak berlaku seperti mereka?”

“Karena jiwa kita belum sempurna, Gempol.”

“Maksud, Ki Benowo?”

“Yang kita pelajari dari Syekh Siti Jenar bukanlah ilmu kebhatinan menuju jalan ma’rifat. Tetapi yang kita pelajari dari beliau adalah ilmu kesaktian dan keduniawian, bagai mana kita menjadi perkasa dan penguasa.” terang Kebo Benowo.

“Ya, benar itu, Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka rasakan pada saat ini.”

“Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk-garuk kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan cantik?”

“Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati, yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas Kebo Benowo.

“Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo Dento mengacungkan jempolnya.

***

Matahari senja di langit sebelah barat tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga. Seakan-akan cipratan darah di atas serpihan kain putih.

Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju padepokan Syekh Siti Jenar.

“Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap Ki Donoboyo pada rekannya.

“Namun pertanda apakah gerangan jika memang itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya.

“Saya kira itu hal biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam tersebut.

“Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….”

“Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap.

“Seperti sebuah pertanda.”

“Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya, jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir.

“Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap langit jingga.

Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya mengangkat kepala mendongak ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi.

Raga mereka seakan-akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana, setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di alam raya. Pertautan antara alam raya dan ruh.

“Ya, rasanya ini benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan.

“Begitu juga yang saya rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam, jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa dengan alam telah kembali pada raganya masing-masing.

Bersambung…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar