Senin, 03 Agustus 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 21

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 21

“Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol. “Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!”

“Mana mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika kalahkan.” tantang Joyo Dento.

“Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya.

“Sebaiknya kita ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan.

“Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.” bisik yang lainnya.

“Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah.

“Ayo pikirkan sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di depana dadanya.

“Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak.

“Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.”

***

“Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar.

“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki.

“Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam.

“Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang berkabut.

“Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo Kenongo.

“Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya, meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.”

“Lantas?”

“Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagaimacam permohonan dan keinginan. Karena mereka lebih mencintai urusan lahiryah yang cenderung duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.

“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan lahiryah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya.

“Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia, lupalah kepadanya.”

“Mengapa, Syekh?”

Bersambung……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar