Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 90
Juli 31, 2009 oleh herdipamungkasred
“Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?”
“Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.”
“Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?”
“Bicara apa?”
“Masa kisanak tidak dengar?”
“Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!”
“Apa artinya hukum manusia?”
“Tidak takutkah andika, Syekh?”
“Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba. Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.”
Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman.
“Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak.
“Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!”
“Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan.
Bersambung……