“Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus meletakan jari telunjuk dibibirnya.
“Saya akan berujar secara lahiryah…” tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri Demak Bintoro.”
“Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.”
“Ya, saya kira demikian.”
“Baiklah,”
“Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?”
“Mengapa tuduhan seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut? Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.”
“Tentu saja, sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya. Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu, namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang mengajarkannya.”
“Sperti itukah lelaku saya saat ini?”
“Ya, dari sudut pandang umum.”
“Tidakah disadari meski gendang pun bisa dipukul menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”
“Benar,”
“Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”
“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”
“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.”
“Mungkin menurut pandangan khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.
“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam Pangeran Modang.
‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta manunggaling kawula gusti.’
‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk melukar syariat….’
“Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?” Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang.
“Mereka berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau kebatinan.”
“Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.
“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. ‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada tangga yang lebih atas…’
“Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala, “Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…”
“Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat.
Bersambung………..